Desa Sendangsari terletak di Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Terdiri dari empat dusun, yaitu Dusun Sendangsari, Dusun Kali Kuning, Dusun Gondang, dan Dusun Penampelan, Desa Sendangsari mempunyai sejarah desa yang tidak dapat dilepaskan dari suatu kebersamaan dari sebuah kelompok masyarakat. Dahulu kala tersebutlah sebuah “Manunggalaning Warga” yang berarti para pemersatu warga di Sendangsari. Kemudian merekalah yang dipercaya sebagai cikal bakal masyarakat Desa Sendangsari sekarang. Para pendiri yang lebih dikenal dengan sebutan Eyang tersebut, antara lain sebagai berikut :
1. Eyang Waridin
2. Eyang Gathul, Eyang Sayid Imam, Kyai Nursidin –ketiganya kemudian disebut dengan “Tri Saka”. Menurut kepercyaan masyarakat setempat ketiganya dimakamkan di Makam Gondang-
3. Eyang Syekh Rahmad Maulana
4. Eyang Tadirja beserta istri
5. Eyang Kyai-Nyai Tepo
6. Eyang Kyai-Nyai Dhug
7. Embah Sawijaya
Pada awalnya Desa Sendangsari lebih dikenal dengan sebutan Wiladabanyu. Nama tersebut berasal dari nama pendiri desa yaitu Eyang Waridin. Tersebutlah pada waktu itu Eyang Waridin menemukan mata air atau “tuk” di bagian selatan desa. Di sekitar mata air tersebut terdapat tanaman “Wilada” yang berwujud seperti tanaman awar-awar –sejenis pohon beringin- yang pohonnya berwarna sedikit kemerah-merahan. Wiladabanyu juga dapat diartikan sebagai sebuah tempat yang kaya akan air.
Desa sendangsari merupakan sebuah desa yang mempunyai sisi historis yang sangat kental. Mulai dari sejarah berdirinya Desa Sendangsari maupun mitos-mitos yang menyelimutinya yang masuh hidup hingga kini di dalam alam pikir masyarakat Sendangsari. Apabila merunut masalah pemukiman, pada awalnya pemukiman terletak di daerah Gomblangan. Namun setelah dianggap tidak cocok lagi dijadikan kawasan hunian, pemukiman pun dialihkan ke sisi barat, yaitu ke daerah yang saat ini dikenal sebagai daerah Tempelsari, Desa Sendangsari. Kemudian sejarah tersebut juga dipertegas kagi dengan temuan artefaktual berupa kelompok makam yang terdapat di Dusun Gondang. Dipercaya makam tersebut merupakan makam dari cikal bakal Desa Sendangsari.
Kaitan antara masyarakat dengan sumber mata air terbesar di Sendangsari yaitu Kali Gondang pun sangat erat. Ritual penting seperti ritual cukur gembel pun masih dipusatkan di Kali Gondang. Bahkan Kali Gondang pun mempunyai hubungan emosional yang sangat kuat dengan masyarakat di luar Desa Sendangsari. Tempat yang masih dianggap sakral itu tidak pernah sepi dari kunjungan orang-orang yang ingin mencari kesucian ataupun ilmu yang lebih tinggi lagi.
Sebuah desa tidak pernah dapat dipisahkan dari tradisi-tradisi yang masih dijaga oleh masyarakat pendukungnya hingga saat ini. Begitu juga dengan Sendangsari. Saat ini masih dapat dijumpai ritual seperti cukur gembel, undhuh-undhuhan –pawai obor mengelilingi kampung dengan menampilkan berbagai atraksi kesenian pada akhir perjalanan-, merdi desa, serta upacara-upacara kematian.
Kekayaan budaya tersebut kemudian diimbangi dengan suburnya bumi Sendangsari. Sawah-sawah terasering sudah dapat disaksikan begitu memasuki gerbang Desa Sendangsari. Selain tanamam pokok berupa padi, Desa Sendangsari juga merupakan salah satu produsen kenci –selada air- yang cukup diperhitungkan di Wonosobo. Selain itu akan banyak sekali dijumpai tanaman jagung dan ketela.
Keadaan budaya dan alam Desa Sendangsari yang didukung oleh kehomogenitas masyarakatnya memberikan citra desa kepada siapa pun yang datang berkunjung ke sini. Walaupun terlihat berbeda dengan desa-desa di dataran rendah pada umumnya, baik dari segi pemukiman maupun aksesibilitas jalan, namun Sendangsari tetaplah sebuah desa dengan seluruh kehangatan elemen-elemen pendukung di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar